UNTUNG.Today, Jakarta – Goldman Sachs Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Akibat Tarif AS, Sarankan BI Segera Turunkan Suku Bunga. Lembaga keuangan global Goldman Sachs memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, menyusul kebijakan tarif baru yang diumumkan Amerika Serikat awal bulan ini. Dalam laporannya, Goldman menyoroti bahwa negara-negara Asia menjadi kawasan yang paling terdampak akibat tarif baru tersebut, dengan pemangkasan proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) hingga -1,2 persen poin (ppt) untuk tahun 2025.
Untuk Indonesia, Goldman Sachs menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 4,8% menjadi 4,7% pada 2025. Angka ini lebih rendah dari konsensus pasar yang menargetkan pertumbuhan sebesar 5% untuk tahun ini.
Meski demikian, Indonesia disebut sebagai salah satu negara yang dampaknya paling minim dibanding negara-negara Asia lainnya yang lebih bergantung pada perdagangan. Sebagai perbandingan, proyeksi PDB Vietnam dipangkas dari 6,8% menjadi 5,6%, Taiwan dari 2,6% ke 1,6%, Thailand dari 2,4% ke 1,5%, dan Malaysia dari 4,5% menjadi 3,8%.
Sinyal Dovish Bank Sentral Asia
Goldman Sachs juga memperkirakan bahwa bank sentral di kawasan Asia akan bersikap lebih dovish ke depan, yaitu dengan menurunkan suku bunga acuan guna menopang pertumbuhan ekonomi yang melemah. Proyeksi ini diperkuat oleh kondisi global yang memberikan ruang untuk pelonggaran moneter, seperti pelemahan dolar AS dan stabilnya nilai tukar Yuan China (CNY).
Bank Indonesia (BI) diprediksi menjadi salah satu bank sentral yang paling agresif dalam menurunkan suku bunga, dengan potensi pemangkasan total sebesar 100 basis poin (bps) dari 5,75% menjadi 4,75% pada tahun ini. Goldman memperkirakan pemangkasan masing-masing 50 bps akan dilakukan pada kuartal II dan kuartal III 2025.
Tekanan Inflasi Melemah, Sinyal Pemulihan Lambat
Kondisi ekonomi domestik Indonesia juga mendukung langkah pelonggaran kebijakan moneter. Data inflasi menunjukkan bahwa harga-harga konsumen di Indonesia mencatatkan pertumbuhan paling rendah dalam dua dekade terakhir, yakni hanya 0,76% secara tahunan (YoY) pada Januari dan bahkan mengalami deflasi sebesar -0,1% pada Februari 2025.
Sementara itu, inflasi inti yang mencapai sekitar 2,5% lebih banyak didorong oleh kenaikan harga emas dan mencerminkan perilaku menabung, bukan konsumsi aktif. Hal ini mengindikasikan lemahnya permintaan domestik yang mendukung perlunya stimulus moneter.
Selain itu, pasar tenaga kerja Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Sektor padat karya mengalami tekanan profitabilitas yang menyebabkan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baca juga: Donald Trump Umumkan Jeda Tarif Impor: Kabar Baik bagi Indonesia, Tapi Tidak untuk China
BI Diimbau Fokus pada Pertumbuhan, Bukan Hanya Stabilitas Rupiah
Meski memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga, Bank Indonesia masih berhati-hati akibat tekanan terhadap nilai tukar Rupiah. Sejak awal tahun, Rupiah mengalami depresiasi seiring keluarnya arus modal asing dari pasar domestik.
Namun, menurut laporan Goldman Sachs dan beberapa analis lokal, depresiasi Rupiah kemungkinan besar tak terelakkan, terlebih di tengah ketegangan dagang AS-Tiongkok. Dalam situasi ini, menahan suku bunga tinggi hanya akan memperburuk deflasi dan memperlemah pasar tenaga kerja.
“Bank Indonesia perlu memprioritaskan mandat untuk memulihkan inflasi dan pertumbuhan ketenagakerjaan,” tulis Goldman dalam laporannya. “Apalagi saat AS tengah menghentikan sementara tarif timbal balik, ini adalah momentum untuk bertindak.”
Peran SRBI dan Cadangan Devisa
Dalam upaya mempertahankan nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia selama beberapa tahun terakhir telah mengandalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Instrumen ini dinilai cukup efektif, bahkan mendorong peningkatan cadangan devisa dari USD 136 miliar pada April 2024 menjadi USD 157 miliar pada April 2025.
Namun, dengan risiko deflasi yang terus membayangi dan pertumbuhan ekonomi yang kian lemah, tekanan publik terhadap BI untuk menurunkan suku bunga semakin besar.
Dalam lanskap ekonomi global yang penuh ketidakpastian, keputusan Bank Indonesia dalam beberapa bulan ke depan akan sangat krusial. Dengan ruang inflasi yang longgar, tekanan di pasar tenaga kerja, dan ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga, bank sentral didorong untuk lebih proaktif dalam mengantisipasi perlambatan ekonomi yang lebih tajam.
Jika BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga sebesar 100 bps tahun ini, itu akan menjadi langkah paling agresif di Asia—dan sekaligus sinyal kuat bahwa Indonesia bersiap mengatasi tekanan eksternal sambil menjaga keseimbangan domestik.
Sumber: algoresearch, IDX